Kartini Media
Ilustrasi masjid digunakan sebagai mahar. Foto: Freepik

Mahar Pernikahan Berupa Masjid, Ini Hukumnya dalam Islam

Selebriti Irish Bella menikah dengan seorang laki-laki bernama Haldy Sabri. Keduanya melangsungkan akad pernikahan pada Sabtu (19/10/2024).

Sejumlah sahabat mempelai membagikan momen kebahagiaan itu melalui media sosial. Termasuk beredar video saat Haldy Sabri mengucapkan ijab kabul.

Terungkap mahar atau mas kawin dari Haldy Sabri yang diberikan kepada pemilik nama lengkap Yris Jetty Dirk de Beule berupa sebuah masjid. 

"Saya (wali) hakim, saya nikahkan saya kawinkan seorang putri bernama Yris Jetty Dirk de Beule bin Johan de Beule kepadamu dengan mas kawin satu buah masjid dibayar tunai," kata wali hakim.

"Saya terima nikah dan kawinnya Yris Jetty Dirk de Beule bin Johan de Beule dengan mas kawinnya tersebut tunai," ucap Haldy Sabri.

Mas kawin atau mahar tak lazim ini sontak membuat publik bertanya, apakah bangunan masjid diperbolehkan sebagai mahar atau mas kawin? Lantas bagaimana hukum Islam?

Dalam pernikahan Islam, mahar atau mas kawin merupakan hak calon istri diberikan calon suami sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepadanya.

Mahar adalah kewajiban dalam pernikahan harus dipenuhi calon suami.

Prinsipnya, Islam memberikan kebebasan dalam penentuan mahar selama tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan sesuai dengan kesepakatan antar kedua belah pihak, serta tidak memberatkan.

Melansir NU Online, seiring berjalan waktu, bentuk mahar nikah mengalami perkembangan.

Jika dahulu mahar nikah lebih identik dengan benda-benda berharga atau uang, kini muncul inovasi seperti mahar nikah berupa masjid.   

Mahar nikah berupa masjid kini menjadi pilihan bagi sebagian pasangan. Hal ini merupakan salah satu bentuk kreativitas menarik untuk dikaji dari perspektif hukum Islam mengingat nilai spiritual dan sosial terkandung di dalamnya.  

Dalam fiqih Islam, mahar nikah menggunakan masjid hukumnya tidak sah. Meski demikian, akad nikah tetap dihukumi sah dan mahar yang wajib diserahkan adalah mahar mitsil, yakni mahar standar yang biasa diterima keluarga pihak istri. 

Ada dua poin menjadi pokok pembahasan dalam permasalahan ini:   

Pertama, status kepemilikan masjid. Dalam kajian fiqih, masjid merupakan bentuk wakaf. Sehingga status kepemilikannya adalah milik Allah, bukan milik manusia siapapun, termasuk pewakaf itu sendiri.   

Karena itu, baik pewakaf, nazhir maupun yang lain, tidak bisa menyerahkan kepemilikan masjid kepada orang lain. Mereka hanya berhak memanfaatkan sesuai dengan pemanfaatan wakaf.   

Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan:

“Ketahuilah bahwa kepemilikan pada barang yang diwakafkan untuk hal tertentu atau untuk umum, itu berpindah kepada Allah SWT, artinya terlepas dari kepemilikan manusia.” (Fathul Mu’in Hamisy I’anatit Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018], juz III, halaman 304).  

Kedua, benda-benda yang sah dijadikan mahar nikah. Secara prinsip, benda yang sah untuk dijadikan mahar nikah adalah benda-benda yang sah untuk dijadikan alat tukar dalam akad jual beli.   

Dalam penjelasannya, benda yang sah untuk dijadikan alat tukar dalam jual beli adalah benda yang suci, bermanfaat, dan halal untuk dimanfaatkan, bisa diserahterimakan, serta menjadi milik orang yang melakukan transaksi.   

Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi menjelaskan:

“Setiap barang yang sah dijadikan alat tukar/pembayaran, maka sah dijadikan mahar nikah. Barang yang sah dijadikan mahar nikah adalah barang yang memenuhi syarat-syarat yang telah lewat dalam bab jual beli, yaitu suci, bermanfaat, mampu diserahkan, dan dimiliki oleh orang yang transaksi.” (Hasyiyah I’anatit Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018], juz III, halaman 581).  

Sementara Syekh Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan, pemahaman dari penjelasan di atas adalah barang-barang tidak sah dijadikan alat tukar jual beli, maka tidak sah dijadikan mahar nikah. Pemahaman ini dikuatkan oleh pernyataan dari Khathib Asy-Syirbini.

Lebih lugas Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan, setiap benda tidak dimiliki suami, maka tidak sah untuk dijadikan mahar. 

“Sebagaimana barang yang dighashab adalah setiap barang yang tidak dimiliki oleh (calon) suami, seperti ia nikah dengan mahar budak yang dimiliki orang lain, arak, orang merdeka.” (Tuhfatul Muhtaj Hamisyi Hawasyis Syirwani, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2015], juz IX, halaman 376).  

Karena itu, kewajiban mahar dalam kasus nikah dengan mahar masjid berubah menjadi mahar mitsil, bukan masjid disebutkan dalam akad, karena masjid tidak bisa milik termasuk oleh suami.(*)

Artikel Terkait