Kartini Media
Ilustrasi prosesi akad nikah. Foto: Freepik

Hukum Menghadiri Undangan Pernikahan dalam Islam, Wajibkah?

Menikah adalah salah satu kehidupan baru yang akan dilalui sepasang sejoli. Mereka diikat dalam acara sakral dan khidmah. Pernikahan diselenggarakan pengantin adalah hal lumrah.

Salah satu kesunahan dalam pernikahan adalah mengadakan walimah. Jika dilihat dari sudut pandang kebahasaan, walimah memiliki arti berkumpul.

Pemaknaan semacam ini bisa dipahami dari pertimbangan bahwa dalam walimah, kedua mempelai berkumpul dalam satu majelis.

Sedangkan secara syariah, walimah didefinisikan sebagai undangan jamuan makan pascapernikahan.

Lantas, apa hukum dalam Islam tidak menghadiri pernikahan padahal diundang?

Melansir NU Online, dikutip dari Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, 2000), halaman 236, hukum walimah adalah sebagai berikut:

“Walimah pernikahan hukumnya disunahkan. Yang dimaksud dalam hal ini ialah jamuan makan ketika pernikahan. Paling sedikit hidangan bagi orang mampu ialah seekor kambing, dan bagi orang yang kurang mampu, hidangannya apa pun semampunya.”

Dari pemaparan di atas bisa dipahami bahwa mengadakan jamuan makan atau walimah nikah, hukumnya adalah sunah, dan minimal hidangan ialah seekor kambing bagi yang mampu atau bagi tidak mampu maka dipersilakan menghidangkan jamuan semampunya.

Waktu terbaik melaksanakan walimah ialah pascaakad nikah.

Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi pernah melaksanakan akad nikah di pagi hari, dan mengadakan jamuan makan walimah di siang harinya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Subulussalam Syarh Bulughul Maram, juz I, halaman 154:

“Seorang ulama madzhab Syafi’I, al-Mawardi menegaskan bahwa walimah dilakukan setelah hubungan badan. As-Subki (ulama Syafiiyah lainnya) mengatakan, ‘Mengaku pada praktik Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, walimah dilakukan setelah hubungan badan.’

Keterangan beliau mengisyaratkan kisah pernikahan Zainab binti Jahsy. Sebagaimana kata Anas bin Malik, ‘Di pagi hari, setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menikahi Zainab, lalu beliau undang para sahabat’.”

Bagi para undangan, hukum mendatangi walimah ini ialah fardlu ‘ain meski ketika acara berlangsung, boleh tidak menikmati makanan tersebut.

Sebagaimana lanjutan pernyataan dalam kitab Fathul Qarib:

“Menghadiri undangan jamuan makan walimah nikah hukumnya wajib, dalam arti fardlu ‘ain menurut pendapat lebih sahih. (Meskipun) tidak wajib memakannya menurut pendapat yang lebih sahih.”

Kewajiban mendatangi walimah ini bisa hilang apabila pihak pengundang melakukan sebuah kekeliruan secara syara, sebagaimana kelanjutan keterangan dalam kitab Fathul Qarib:  

“Bahwasanya kewajiban menghadiri undangan walimah nikah, atau kesunnahan menghadiri jamuan makan lainnya, ialah dengan syarat sang pengundang tidak menspesialkan orang kaya dalam undangan, tetapi mengundang juga orang-orang fakir”.

Dari pernyataan tersebut, bisa dipahami bahwa unsur kesetaraan sosial harus diperhatikan dalam undangan walimah nikah, dengan tidak mendiskriminasi kelompok yang kaya dengan yang miskin.(*)

Artikel Terkait