Ini Alasan Pentingnya Rutin Menggosok Gigi 2 Kali Sehari
Kebiasaan menggosok gigi memiliki dampak besar pada kesehatan mulut dan tubuh. Selain gosok gigi, be
Belakangan ini, media sosial ramai obrolan dengan istilah pernikahan lavender atau lavender marriage. Hal tersebut menyedot perhatian warganet, khususnya pengguna X (dulu Twitter).
Pada dasarnya, istilah lavender marriage mengacu pada persatuan antara seorang heteroseksual dan homoseksual.
Melansir Marriage.com, lavender marriage adalah sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan perempuan, dimana satu orang adalah heteroseksual dan seorang lainnya adalah homoseksual atau lesbian. Ikatan ini sering kali dimaksudkan untuk menyembunyikan orientasi seksual homoseksual.
Mengutip India Today, pernikahan lavender merupakan kesepakatan secara historis berfungsi sebagai sarana melindungi individu dari penganiayaan masyarakat, konsekuensi hukum, atau kesulitan pribadi karena orientasi seksual mereka.
Istilah lavender mengacu pada warna secara tradisional dikaitkan dengan komunitas LGBTQ+.
Secara umum, dunia telah berkembang dan lebih terbuka dengan perbedaan orientasi seksual. Namun, terlepas dari keterbukaan ini, beberapa bagian dunia belum sepenuhnya mengakui dan melindungi kaum LGBTIQ+.
Keputusan menjalani pernikahan lavender bisa berkonsekuensi secara pribadi maupun sosial.
Individu dalam pernikahan lavender mungkin mengalami konflik internal, penekanan identitas, dan hubungan interpersonal yang tegang.
Tantangan lain dalam lavender marriage adalah anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.
Anak-anak dibesarkan dalam bayang-bayang pernikahan lavender akan menghadapi tantangan, mulai dari memahami dinamika keluarga hingga menghadapi persepsi eksternal dan potensi stigma.
Lingkungan ini bisa menyebabkan kebingungan, tekanan emosional, dan pertanyaan tentang identitas dan hubungan di dalam keluarga.
Sebelum istilah lavender marriage ramai gunjingan di media sosial, istilah marriage is scary lebih dulu mewarnai TikTok, bila diterjemahkan secara harfiah berarti pernikahan itu menakutkan.
Tahun lalu, New York Times menerbitkan artikel mengulas alasan warga muda di China memilih tidak menikah.
Jumlah pernikahan di China menurun selama sembilan tahun berturut-turut, turun hingga setengahnya dalam waktu kurang dari satu dekade.
Pada 2022, ada 6,8 juta pasangan mendaftarkan diri untuk menikah, jumlah terendah sejak pencatatan dimulai pada 1986, turun dari 13,5 juta pada 2013, menurut data pemerintah China dirilis Juni 2023.
Meski jumlah pernikahan meningkat pada 2023 dibanding tahun sebelumnya, namun pernikahan berakhir perpisahan juga meningkat.
Hal serupa juga dialami Jepang. Menurut survei Recruit pada September 2023, persentase warga Jepang berusia 20 hingga 49 tahun belum menikah, namun menjalin hubungan adalah 29,7 persen, lapor Nippon.
Alasan paling umum dikemukakan 40,5 persen perempuan tidak ingin menikah karena membatasi aktivitas dan gaya hidup. Sementara, alasan utama dikemukakan 42,5 persen laki-laki adalah kehilangan kebebasan finansial.(*)