MBG di Tomohon Dorong Kualitas Generasi Muda dan Dampak Positif bagi Masyarakat Lokal
Gizi seimbang dan tepat merupakan kunci mendasar dalam sebagai langkah utama untuk mencetak generasi
Generasi Z dan Y atau Milenial diperkirakan akan menjadi lebih miskin dibandingkan generasi sebelumnya akibat terjebak tren doom spending atau pengeluaran tidak masuk akal.
Orang-orang dari dua generasi ini sering kali menghabiskan uang untuk bepergian dan membeli pakaian maupun barang-barang mewah, dan tidak menabung.
Di media sosial, kondisi tersebut dinamakan sebagai tren doom spending, secara harfiah bermakna pengeluaran yang sia-sia.
Menurut Psychology Today, doom spending terjadi ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir untuk menenangkan diri karena merasa pesimis terhadap ekonomi dan masa depan mereka.
Belanja untuk Mengatasi Stres
Dosen senior keuangan di King's Business School Ylva Baeckstrom mengatakan praktik ini tidak sehat dan fatalistis. Tidak hanya kesenjangan ekonomi kian melebar, perilaku ini bisa terjadi ketika seseorang merasa stres dengan hal-hal tertentu, termasuk kekacauan politik dan iklim.
Guna mengatasi stres, mereka akhirnya membeli lebih banyak barang untuk mendapatkan kesenangan. Namun, langkah menghamburkan uang ini justru bisa menjerumuskan Gen Z dan Milenial ke lubang utang.
"Anak-anak muda menerjemahkan perasaan buruk mereka menjadi kebiasaan belanja yang buruk," ujarnya.
"Kaum muda ini kemudian menerjemahkan perasaan buruk itu ke dalam kebiasaan belanja yang buruk," kata dia, seperti dikutip CNBC.
Melansir Bloomberg, doom spending adalah aktivitas membelanjakan uang untuk menghilangkan stres di tengah kekhawatiran atas kondisi ekonomi yang tidak pasti dan kondisi hubungan internasional yang tidak stabil.
Berbeda dengan retail therapy, dimana seseorang berbelanja untuk menghibur diri akibat masalah pribadi seperti cinta, karier, atau keluarga, doom spending dipicu oleh faktor eksternal seperti ketidakstabilan ekonomi global dan ketimpangan kekayaan antara masyarakat umum dan kelas super kaya.
Keberadaan ponsel pintar memudahkan akses informasi tentang krisis ekonomi, perang, hingga isu lingkungan bisa memperburuk fenomena ini. Fitur pembayaran seperti 'Buy Now, Pay Later (BNPL)' semakin mendorong perilaku belanja impulsif.
Sebagai gambaran, data dalam survei Intuit Credit Karma terhadap lebih dari 1.000 warga Amerika menunjukkan, 96 persen orang merasa khawatir dengan kondisi ekonomi saat ini.
Jajak pendapat pada November 2023 itu mengungkapkan, lebih dari seperempatnya rela mengeluarkan uang untuk mengatasi stres. Sayangnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat.
Berdasarkan CNBC’s International Your Money Financial Security Survey, hanya 36,5 persen orang dewasa di seluruh dunia merasa lebih baik daripada orangtua mereka secara finansial.
Sementara, 42,8 persen lainnya berpikir mereka sebenarnya memiliki kondisi finansial lebih buruk dari orangtuanya.
"Generasi yang tumbuh sekarang adalah generasi pertama yang akan lebih miskin daripada orangtuanya untuk waktu yang sangat lama,” kata Baeckstrom.
Di tengah ketidakpastian ini, banyak generasi muda mengadopsi pola pikir You Only Live Once (YOLO) dan memilih menikmati hidup dengan membelanjakan uang untuk barang-barang mewah. Fenomena ini juga diperburuk dengan mudah akses pinjaman online di berbagai platform media sosial.
Stefania Troncoso Fernandez, seorang humas berusia 28 tahun tinggal di Kolombia bersama orangtuanya, mengatakan bahwa ia sudah pulih dari kebiasaan menghabiskan uang. Tetapi tingkat inflasi yang tinggi dan ketidakpastian politik membuatnya sangat sulit untuk merasionalisasi penghematan uang.
"Saya tahu pasti bahwa (biaya) makanan semakin tinggi setiap hari, dan di rumah saya kami tidak mampu makan dengan cara yang sama seperti yang kami lakukan mungkin setahun yang lalu karena harganya semakin mahal," katanya.
Dua tahun lalu, Fernandez mengatakan bahwa ia menghabiskan uang dengan sembarangan untuk pakaian dan perjalanan meskipun penghasilannya lebih sedikit daripada sekarang. Hal itu terutama karena ia merasa tidak mampu membeli rumah.
Fernandez mengatakan bahwa dia tidak sendirian terjebak dalam doom spending.
"Bukan hanya saya. Itu adalah sesuatu yang terjadi di lingkungan saya," katanya.
Ilustrasi belanja online. Foto: Freepik
Sementara itu, Samantha Rosenberg, salah satu pendiri platform pembangun kekayaan Belong mengatakan bahwa belanja daring memperburuk masalah pengeluaran yang tidak masuk akal alias doom spending, tetapi melihat barang secara langsung bisa mencegah pembelian impulsif.
"Titik-titik keputusan tambahan seperti memilih toko, bepergian ke sana, mengevaluasi barang secara langsung, dan kemudian harus mengantre untuk membelinya akan membantu Anda memperlambat dan berpikir lebih kritis tentang pembelian Anda," katanya.
Rosenberg menyarankan untuk kembali menggunakan uang tunai. Metode pembayaran mudah seperti Apple Pay dan Google Pay katanya meningkatkan risiko pengeluaran tidak perlu karena sangat cepat dan mudah.
"Metode ini mengabaikan emosi terkait dengan proses pengambilan keputusan pembelian. Metode ini juga menghilangkan rasa sakit karena harus menyerahkan uang. Anda harus meningkatkan rasa sakit karena harus membayar," tambahnya.
Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa nilai penyaluran fintech lending atau pinjaman online mencapai Rp20,53 triliun pada Agustus 2023. Dari jumlah itu, 60 persen pengguna pinjaman online berasal dari kalangan Milenial dan generasi Z berusia 19-34 tahun.(*)